Oleh Gunawan Handoko (Ketua Harian
Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) Provinsi Lampung)
Sejak
awal kehadirannya, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) telah banyak
menimbulkan pro dan kontra. Gagasan program RSBI ini tidak jauh berbeda dengan
penyelenggaraan kelas-kelas unggulan yang telah berjalan sebelumnya. Selama ini
keberadaan RSBI menjadi sorotan banyak pihak, termasuk menteri pendidikan
nasional (Mendiknas) bersikukuh untuk mengevaluasinya. BERBAGAI
pertanyaan mendasar dan bernada menggugat pun bermunculan. Di antaranya apakah
sekolah yang ditunjuk (baca : mencalonkan diri) menjadi RSBI benar-benar sudah
siap? Masyarakat khawatir jika RSBI nantinya malah membuat pengastaan antara
yang kaya dan miskin. Sebab, diyakini RSBI perlu ditunjang dengan berbagai
macam fasilitas dan sarana prasarana pendukung yang biayanya dibebankan kepada
siswa.
Apa
yang dikhawatirkan masyarakat bukan isapan jempol. Terbukti di sana-sini
terjadi pungutan besar-besaran yang dibebankan kepada siswa. RSBI telah
berperilaku primordial meski Mendiknas telah memberi warning agar hal tersebut
tidak dilakukan. Beberapa hal yang menjadi perhatian masyarakat ialah proses
rekrutmen siswa, akuntabilitas keuangan, prestasi akademik, dan persyaratan
dasar RSBI.
Jika
kita boleh bicara jujur, dari hasil pemantauan selama ini terkesan perjalanan
RSBI terlalu ’’dipaksakan’’ atau lebih ekstremnya diaborsi. Kenyataannya antara
harapan dan realitas justru terbalik. Indikatornya adalah pertama, kualitas dan
pelayanan yang ada belum menunjukkan bahwa sekolah tersebut menuju sekolah
bertaraf internasional.
Kedua,
parameter kelulusan tes masuknya juga sangat subjektif. Karena unsur wawancara
ikut menjadi penentu diterima atau tidaknya seorang calon siswa, serta kualitas
pewawancaranya apakah (maaf) sudah teruji sebagai pewawancara? Ketiga, program
RSBI sebagai embrio sekolah bertaraf internasional (SBI) telah menutup
kesempatan bagi anak didik yang memiliki potensi akademis tetapi tidak punya
finansial. Oleh sebab itu, sangat tepat apabila pihak pemerintah daerah
kabupaten/kota dan Kemendiknas meninjau ulang program RSBI. Sebab,
dikhawatirkan menjadi sekolah eksklusif.
Meski
dalam peraturan disebutkan RSBI agar menyediakan 20 persen bangku sekolah untuk
siswa tidak mampu, kenyataannya jarang ada siswa tak mampu bersekolah di RSBI.
Setiap orang tua sesungguhnya menginginkan untuk bisa memasukkan anaknya ke
RSBI. Dengan a;asan fasilitas yang lebih baik dan mungkin tenaga pengajar lebih
kompeten.
Ketika
mereka harus membayar lebih mahal daripada sekolah reguler, pupuslah peluang
bagi masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan. Akhirnya, RSBI menjadi
sekolahnya kaum berada dan mungkin dapat mematikan hati dan rasa sosial
murid-muridnya. Sebab, mereka hanya bergaul dengan teman-teman sekasta. Maka
yang terjadi kemudian adalah kapitalisasi pendidikan. Ada baiknya pemerintah
lebih fokus pada upaya menciptakan sekolah bertaraf nasional secara merata.
Sehingga, tidak ada perbedaan yang mencolok antara kualitas pendidikan di
wilayah perkotaan dengan pelosok.
Upaya
ini hanya dapat terwujud apabila Kemendiknas mampu untuk memberikan
perlindungan bagi para guru dan kepala sekolah agar terbebas dari politisasi
kepala daerah. Kemendiknas harus berani mengambil alih kewenangan daerah dalam
melakukan mutasi bagi kepala sekolah dari TK sampai SMA/SMK.
Landasan
hukumnya sudah ada. Yakni Permendiknas RI No. 28/2010 tentang Penugasan Guru
menjadi Kepala Sekolah. Untuk mengganti jabatan kepala sekolah, pemda harus
mendaftarkan calon kepala sekolah minimal 2 tahun sebelum mutasi dilakukan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa peraturan tersebut menjadi mandul?
Nyatanya mutasi terhadap guru dan kepala sekolah terus saja berlangsung di
daerah tanpa ada sanksi apapun dari Kemendiknas. Bila hal ini terus dibiarkan,
jangan harap pemerataan pendidikan dapat terwujud. Sebab, kepala sekolah
sebagai pimpinan lembaga pendidikan tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan
tenang. Hal yang tidak kalah penting, Pemerintah harus mengalokasikan anggaran
untuk memperbaiki fasilitas sekolah, melancarkan pembayaran sertifikasi guru
yang masih tersendat-sendat, memperbaiki kurikulum yang dirasakan sangat berat,
dan mengevaluasi penyelenggaraan UN yang masih saja menyisakan pro-kontra
setiap tahunnya.
Memang,
semua paham bahwa pendidikan yang baik memerlukan biaya mahal. Namun, biaya
yang mahal ini seharusnya menjadi tanggung jawab negara. sebab, negara
bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan bagi warganya agar seluruh rakyat
melek huruf dan berpendidikan sehingga mampu bersaing dengan tenaga-tenaga
profesional dari manca negara. Sistem pendidikan yang menutup kesempatan bagi
orang tidak mampu untuk bersekolah di tempat yang baik hanya akan melahirkan
bangsa kuli. Sementara biaya pendidikan yang semakin mahal, ternyata belum
mampu menghasilkan SDM berkualitas. Hal yang memprihatinkan, dari tahun ke
tahun tampaknya kualitas SDM kita tidak menunjukkan perbaikan yang berarti
ditinjau dari peringkat human development index (HDI) yang dikeluarkan oleh
UNDP.
Sangat
penting bahwa urusan yang menyangkut peningkatan mutu SDM menjadi tanggung
jawab penuh pemerintah pusat. Ini berarti kebijakan dan evaluasi
penyelenggaraan pendidikan kendalinya harus tetap pada pemerintah pusat.
Masyarakat menunggu langkah konkret Kemendiknas dalam upaya untuk melakukan
evaluasi terhadap persoalan pendidikan yang selalu dikeluhkan masyarakat. Ini
berarti Mendiknas harus segera membentuk tim independen untuk menilai
keberadaan RSBI, kelas akselerasi, penyelenggaraan UN, bahkan tes masuk
perguruan tinggi yang sampai kini masih membingungkan masyarakat. Apabila
pemerintah menganggap bahwa RSBI/SBI harus ada, mengingat bahwa SBI merupakan
amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 yang wajib
dilaksanakan, hendaknya telah disiapkan infrastruktur yang mapan. Seperti
gedung sekolah yang representatif dengan berbagai fasilitas yang lengkap dan
mutakhir serta bertaraf internasional. Juga kesiapan SDM yang profesional dan
tangguh, baik kepala sekolah, guru, tenaga tata usaha, komputer, laboran,
pustakawan dan penguasaan ICT.
Bahasa Pengantar
Selama
ini pendidikan pada RSBI dan SBI sangat sering diartikan sebagai sekolah yang
harus menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Padahal, pada tingkat
sekolah dasar, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sangat
berbahaya. Paling tidak inilah hasil penelitian Hywel Coleman, peneliti senior
bidang pendidikan keguruan di University of Leeds, Inggris. Hasil penelitiannya
sangat relevan dengan polemik yang mengiringi perjalanan sekolah-sekolah negeri
di Indonesia yang berstatus RSBI dan SBI. Idealnya menurut Hywel, anak harus
melek huruf atau belajar membaca dan menulis melalui bahasa ibunya dulu, baru
kemudian diperkuat dengan bahasa Inggris. Jika anak tidak diberi kesempatan
untuk menguasai konsep-konsep dasar melalui bahasa ibu di tingkat SD, dampak
negatifnya akan terasa pada keberhasilannya dalam proses pendidikan
selanjutnya. Hywel mengambil sampel penelitian di sekolah-sekolah negeri
bertaraf internasional yang menggunakan konsep pengajaran bilingual (dwi
bahasa) seperti di Korea Selatan, Thailand dan Indonesia. Dan yang ironis dan
menyedihkan menurut Hywel bahwa di Indonesia tingkat bahayanya paling tinggi.
Korea
Selatan misalnya, diperoleh fakta bahwa 100 persen keberhasilan anak belajar
dilakukan melalui bahasa ibunya. Sementara di Thailand, keberhasilannya
mencapai angka sampai 50 persen. Indonesia menjadi negara terendah karena hanya
mencapai angka 10 persen. Bagi sekolah-sekolah negeri yang menggunakan label
internasional, tentu tidak bisa seenaknya menggunakan metode bilingual tanpa dukungan
kurikulum dan metode pengajaran yang tepat. Memang, yang kita harapkan dari
lulusan SBI adalah menguasai kemampuan kunci-kunci global namun harus tetap
berjati diri dan berbudaya Indonesia. Kita semua berharap semoga Pemerintah
dapat lebih bijaksana dalam menyikapi masalah RSBI dan SBI, karena menyangkut
pendidikan calon pemimpin bangsa di masa depan.
Sebaliknya,
jika pembenahan SDM ini dilakukan setengah hati dan para pejabat birokrat yang
diberi tanggung jawab mengurusi pendidikan bersikap business as usual, maka
jangan bermimpi untuk mendapatkan kualitas bangsa yang mampu bersaing dengan
negara tetangga yang kini telah melaju meninggalkan kita.
0 komentar:
Posting Komentar