Isu paling hangat di Indonesia tentang rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memang menjadi daya tarik tersendiri untuk didiskusikan oleh berbagai pihak.
Ketidaksetujuan menjadi hal yang paling lumrah disuarakan oleh masyarakat dikarenakan dampak yang akan tercipta dari kenaikan harga BBM itu sendiri, yaitu paling logisnya adalah inflasi yang kian tak terbendung lagi.
Asumsi bahwa defisit APBN sudah tidak terbendung lagi sampai keterbatasan dan pengaruh harga minyak yang melambung tinggi akhir-akhir ini seolah menjadi alasan yang rasional untuk diterima oleh masyarakat.
Rencana pemberian bantuan langsung sementara (BLSM) kepada masyarakatpun pada akhirnya kembali menyeruak seperti yang sudah pernah dilakukan oleh pemerintahan periode sebelumnya.
Meskipun reaksi atas wacana tersebut kali ini menjadi lebih dinamis karena sudah menyasar menjadi wadah perdebatan politik, dibanding asumsi manfaat secara menyeluruh, yang tak kunjung usai dan pada akhirnya malah memberikan dampak sosial yang lebih meluas.
Sudah seharusnya hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini memang tidak dipandang secara parsial, pada akhirnya berpotensi menimbulkan kesan bias, melainkan lebih kepada cara pandang yang dialektis-komprehensif sehingga permasalahannya bukan hanya terfokus kepada jadi atau tidaknya kenaikan harga BBM, serta segala dampak yang akan timbul setelahnya, tetapi lebih kepada keberlangsungan kegiatan sosial-ekonomi di masyarakat dengan atau tanpa BBM.
Pemikiran kebijakan energi yang lebih radikal memang mutlak diperlukan dan disosialisaikan kepada masyarakat karena ketersediaannya yang memang semakin menipis sehingga pemahamannya tidak melulu terpusat pada kenaikan harga BBM.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Jero Wacik, bahkan berani mengatakan bahwa ketersediaan BBM di Indonesia hanya bisa bertahan sampai 12 tahun kedepan.
Diluar permasalahan menyangkut supply-demand dan pengaruhnya pada harga BBM tersebut, tentunya masih hangat dalam ingatan bagaimana konversi minyak tanah ke gas (LPG) yang diterapkan dengan "paksa" kepada seluruh komponen masyarakat di Indonesia.
Walaupun dengan sosialisasi yang tidak bisa dibilang baik, tetapi karena dari sisi kegunaan, manfaat, dan tentu tidak bisa dilepaskan juga pertimbangan ekonomisnya yang dianggap sesuai, maka pada akhirnya seluruh rakyat Indonesia bisa menerima kebijakan tersebut.
Pengalaman berharga seperti itu yang harusnya bisa diambil manfaatnya oleh pemerintah untuk menyelaraskan pandangan menyangkut persoalan rencana kenaikan harga BBM atau ketahanan energi secara umum.
Rasanya sangat kurang etis ketika pemerintah dan atau orang yang mengatasnamakan pemerintah yang berasal dari beragam partai politik ataupun sebagian yang profesional berbicara tentang rencana kenaikan harga BBM dengan dalih defisit anggaran (APBN) ketika praktiknya disana-sini ditengarai APBNnya sendiri lebih banyak tergerus oleh oligarki partai penguasa yang cenderung koruptif.
Apalagi mereka berada langsung dilingkaran APBN yang hasilnya bisa ditebak hanya dinikmati oleh segelintir elit saja. Bandingkan dengan yang terkena dampak dengan kenaikan harga BBM yaitu seluruh elemen masyarakat.
Belum lagi isu terkait harga minyak dunia yang kian melambung tinggi yang dijadikan pembenaran untuk menaikkan harga BBM.
Bila dikomparasi dengan ketersediaan energi alternatif yang begitu melimpah di Indonesia seperti gas alam, panas bumi, dan lain sebagainya yang belum terkelola dengan baik, tentunya menjadi tidak fair bila masyarakat hanya dihadapkan pada satu pilihan, yaitu kenaikan harga BBM.
Bahkan menurut pengamat perminyakan, Dr. Kurtubi, kapasitas cadangan gas Indonesia bisa mencapai lima kali cadangan minyak.
Fakta tersebut sudah seharusnya menjadi strategi ampuh bagi pemerintah untuk mensiasati kenaikan harga minyak dunia yang sudah semenjak tahun lalu diprediksi akan menembus $100 per barelnya.
Menyangkut hal ini, faktor kepemimpinan memang menjadi isu klasik tersendiri di Indonesia. Bagaimana memadu-padankan visi dan misi yang tersistematis dalam berbagai bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak memang sangat krusial dibanding cara-cara instan yang kini digunakan sehingga pembahasannya pun hanya bersifat parsial, mendadak tanpa urgensi dan solusi yang jelas.
Kalau saja pemerintah setidaknya selama setahun belakangan ini, setelah batalnya rencana kenaikan BBM tahun lalu, serius mempersiapkan dengan matang energi alternatif untuk digunakan masyarakat Indonesia sehari-hari, dengan estimasi harga minyak dunia dan ketidak-efektifan APBN Indonesia menopang beban subsidi yang besar di tahun ini.
Maka jangankan hanya sekedar kenaikan harga BBM, pembatasan BBM bersubsidi pun sangat mungkin berhasil dilakukan bila memang energi alternatif ada di tengah-tengah masyarakat bila merujuk pada keberhasilan konversi dari minyak tanah ke LPG yang memang benar dirasakan manfaatnya serta ditunjang dengan ketersediaan yang memadai sehingga perdebatan bias di masyarakat yang sering berujung pada gesekan sosialpun bisa diminimalisir. (IRIB Indonesia/Detik/SL)
*Penulis adalah Kader HMI & Alumnus Fak.Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar